(Dimuat di Annida-Online)
Sahabat. Hanya tiga suku kata. Tidak lebih. Tapi, bagiku sahabat adalah segalanya. Tidak berlebihan bila aku menyebut sahabat ibarat kebutuhan pokok yang harus terpenuhi dalam kehidupannku. Kau tentu akan mengira aku lebay. Atau alay sekali pun. Namun, itulah kenyataannya. Hidupku tak berarti apa-apa tanpa kehadiran para sahabat. Walau, tak jarang aku harus tersakiti oleh sebuah persahabatan yang berujung penghianatan. Tapi satu keyakinan yang tak bisa aku pungkiri. Sahabat sejati itu pasti ada.
Hampir separuh kehidupanku diisi oleh sahabat. Ya, saat aku lemah. Sekarat! Mati Rasa! Seorang sahabat mampu membuat aku hidup kembali. Saat aku terlena karena aku bisa, sahabat yang datang menamparku hingga aku kembali terbangun. Aku harus jujur bercerita kepada kalian. Ada rahasia besar dalam hidupku yang sebenarnya tidak patut untuk kalian ketahui. Tapi, aku sudah tidak peduli. Persetan semuanya. Hatiku sudah terlalu sakit menahan impitan gejolak kekecewaan. Jiwaku sudah terlalu kerontang tanpa perhatian dan siraman kasih sayang. Ayah yang bijaksana? Ibu yang berhati permata? Ah, rasanya aku tidak pernah mengenal itu. Yang ada hanya ayah yang sampai sekarang aku tidak mengetahui masih hidup atau bukan.
Ayah, di mana dirimu? Masih adakah kau berpikir tentang aku? Anakmu, yang di dalam tubuhku mengalir darahmu. Aku masih ingat, Yah. Dulu, dulu sekali. Waktu aku masih terlalu bodoh untuk mengurai rumus-rumus kehidupan ini.
Saat itu matahari pagi masih hangat kurasakan. Aku bahagia, bila aku berhasil mencuri seteguk kopi yang khusus dibuatkan Ibu untukmu. Lalu kau memarahiku. Tapi aku tahu, kau tidak pernah marah padaku, Yah. Aku tahu kau begitu menyayangiku.
0 komentar:
Posting Komentar